Jumat, 07 Maret 2014

Makalah Dasar-Dasar Konseling Lintas Budaya



BAB I
BIMBINGAN KONSELING DAN KEBUDAYAAN

Bimbingan dan Konseling (BK) merupakan bentuk pelayanan kemanusiaan, sebab BK hanya diberikan oleh dan untuk manusia. Layanan BK bertujuan untuk membangun manusia yang utuh, sebagai makhluk pribadi, sosial dan makhluk Tuhan ( Prayetno,1994). Manusia sebagai subjek dan objek layanan BK adalah makhluk yang berbudaya, bahkan mereka pencipta, pemakai dan pengembang budaya.

A.    Dinamika Masyarakat dan Transformasi Kebudayaan
Undang-undang No.2 tahun 1989  pasal 1 menyebut bahwa bimbingan konseling salah satu bentuk pendidikan. Mortensen dan Schemuller (1976) Tohari Musnamar (1986) Tijjan dkk.(1993) menyatakan bahwa bimbingan dan konseling merupakan bagian yang integral dalam sistem pendidikan .meskipun bimbingan konseling merupakan bagian yang integral dalam pendidikan, dalam konteks layanan profesional, tidak semua usaha pendidikan dapat di sebut bimbingan konseling.
Berbagai rumusan tentang pendidikan secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan sebenarnya adalah proses pembudayaan. Ali Saifullah (1982) menyatakan bahwa �pendidikan adalah gejala kebudayaan yang mengandung arti bahwa pendidikan hanya diadakan dan dilaksanakan olehmakhluk berbudaya�.
Dari uraian di atas dapat di kemukakan hubungan antara bimbingan konseling dengan kebudayaan adalah bimbingan dan konseling merupakan gejala kebudayaan yang diselenggarakan oleh manusia (makhluk yang berbudaya).

B.     Kebudayaan Latar Konseling Lintas Budaya
Yang di maksud dengan kebudayaan bimbingan dan konseling (guidance and counseling culture) adalah gagasan konsep, yang mendasari praksis bimbingan konseling. Kebudayaan BK merupakan suatu gagasan,konsep,sseperti kegiatan/praktek bimbingan dan konseling yang berkembang dalam masyarakat sebagai produk budaya.
Sebagai aspek dari keseluruhan kebudayaan,maka kebudayaan BK mengandung dimensi-dimensi temporal dan sepasial. Dimensi temporal artinya Kebudayan BK waktu, sedang dimensi sepesial artinya kebudayaan BK dapat berbeda dari stu tempat atau wilayah dengan tempat lain,tergantung dari kebudayaan masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarakat kelompok budaya dalam suwaktu waktu,akan akan memiliki suatu budaya BK, yang sering kali tidak sama.

C.    Bimbingan Konseling Kebudayaan
Berbagai rumusan pendidikan lama menekankan pendidikan sebagai kegiatan mewariska nilai genarasi lama dengan generasi baru,baik nilai inlektual, moral, sosila, estetika dan sebagainya, yang kesemuaanya itu merupakan kebudayaan manusia. Meskipun pendidikan bukan semata memiliki fungsi transformasi, tetapi juga memiliki fungsi kreasi atau dengan istilah  Ali Saigfullah (1983) menyebut bersifat reflektif dan progresif.
Jones, Staffler dan Stewert (1970),Muh. Surya(1988) Prayitno dan Erman Amit(1994) Depdikbud(1994)menunjukan ada beberapa unsur diantaranya adalah membantu orang yang di bimbing mengatasi masalah, menyesuaikan diri, mengembangkan diri, sesuai dengan norma-norma yang berlaku, merencana masa depan.
Sebagai bagian usaha pendidikan, maka BK memiliki fungsi transfomasi dan kreasi kebudayaan.fungsi transformasi terlihat dala pelayanan BK  yang membantu subjek yang di bimbing dapat mengatasi masalah,menyesuaikan diri, atau berperilaku sesuai dengan budaya( nilai,norma,tata hubungan) yang ada dalam masyarakat.fungsi kreasi kebudayaan terlihat dalam budaya BK yang membantu aktualisasi dan optimalisasi seluruh potensi subjek bimbingan perencanaan masa depan.

BAB II
KONSEP KONSELING LINTAS BUDAYA

A.    DINAMIKA MASYARAKAT DAN TRANSFORMASI KEBUDAYAAN
Muhtar Bukhori (2001) menyatakan ada tiga hal yang penting yang perlu di perhatikan dalam pelayanan bimbingan dewasa ini, yaitu bimbingan dalam teknik-teknik belajar, bimbingan untuk mengenali kesempatan kerja dan perguruan tinggi, serta bimbingan transformasi sosio-kultural.
Melihat adanya dinamika yang terjadi dalam masyarakat dan transformasi budaya tersebut, maka konseling lintas budaya atau konseling multi budaya (counseling a cross culture) menjadi nyata relevansi dan urgensinya untuk di terapkan dalam pelayanan bimbingan dan konseling.

B.     LATAR BELAKANG KONSELING LINTAS BUDAYA
Berbagai peristiwa sejarah pembentukan masyarakat atau negara (misalnya kolnial), berbagai bentuk dan alasaaaaaaaan imigrasi, kemajuan teknologi komunikasi, menjadikan masyarakat harus hidup dalam keragaman budaya ( multikultural). Kesadaran akan keragaman tersebut semakin kuat dengan terbagunya masyarakat madani (civil society).
Adanya keragaman budaya merupakan realitas hidup bersama yang tidak dapat di pungkiri. Setiap kebudayaan menurut Kuncaraningrat (1985) mengandung tiga sistem yaitu.
1.      Sistem budaya (bidaya nilai)
2.      Sistem sosial
3.      Kebudayaan fisik
Selusuh unsur budaya akan meliputi berbagai konsep dan asosiasi, sikap kepercayaan, harapan, pendapat, presepesi, streotipe dan sebagainya.
Konsleing yang tidak mempertimbangkan budaya klien yang berbeda akan merugikan klien. Dalam hal ini  Sue (1992:6) menyatakan �konseling telah di gunakan sebagai alat untuk menindas (menekan) dan didesain untuk menanamkan nuilai-nilai budaya individulistik. Tradisi konseling telah mengabaikan kelompok minoritas dan para wanita. Konseling telah mnejadi alat untuk mempertahankan status quo�.
Dalam konseling ada dua komponen pokok yang terlibat, yaitu klien dan konselor.Ivey dkk (1993:127) mengemukakan model hubungan klien dan konselor yaitu:
Client

Counselor

Client culture /
Historical background

Conselor cultureal /
Historial background
 








Gambar 1. Model hubungan konselor dan klien
Hubungan klien dan konselor dalam proses konseling selalu di pengaruhi oleh budaya dan latar belakang sejarah klien dan budaya dan latar belakang sejarah konselor.
Kebudayaan yang bersumber
dari teori yang digunakan

Konselor dengan latar
Belakang budaya

Klien dengan latar
Belakan budaya

Lingkungan kebudayaan
dimana konseling dilaksanakan

Budaya proses
konseling
 










Gambar 2. Sistem budaya yang terlibat dalam konseling
Keseluruhan komponen tersebut menuju proses konseling, termasuk merumuskan tujuan konseling yang di sepakati.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan latar belakang perlunya konseling lintas budaya, yaitu:
1.      Adanya kecenderungan budaya global dan transformasi budaya, diman kehidupan masyarakat semakin terdiri dari berbagai budaya yang selalu berinteraksi dan berubah.
2.      Bahwa setiapbuadaya akan membentuk pola kepribadian,pola bertingkah laku secara khusus, termasuk dalam proses konseling.
3.      Adanya proses akulturasi atau percampuran antara budaya.
4.      Adanya berbagai keterbatasan, hambatan dalam praktek konseling yang selama ini dilakukan, terutama perdekatan psikodinamik, behaviorioristik, eksistensihumanistik, yang kurang mempertimbangkan aspek budaya.
5.      Adanya berbagai pendekatan konseling yang bersumber dari nilai-nilai budaya asli masyarakat (indegineous value), dan berkembang dalam praktik konseling di masyarakat.
C.    Pengertian Konseling Lintas Budaya
Persiden (1990),Ive dkk,(1993) menyebut bahwa konseling lintas budaya merupakan �fourt force� atau kekuatan keempat dalam gerakan konseling, yaitu setelah gerakan psikodinamik (freud, Yung,Adler,From dkk),
Istilah konseling lintas budaya merupakan panduan dari dua istilah yaitu konseling dalam lintas budaya. Secara singkat konseling lintas budaya diartikan konseling yang dilakukan dalam budaya yang berbeda.
Ada beberapa elmen yang sama dalam mendefinisikan koseling. Kesemamaan yang di maksud yang di maksud adalah :
1.      Konseling adalah hubungan peribadi
2.      Konseling adalah suatu proses
3.      Konseling di rancang untuk membantu indifidu membuat keputusan dan memecahkan masalah
4.      Dan dalam konseling terlibat dua orang atau lebih yang ada di dalamnya, yaitu konselor dan klien.
Ahli lain menyatakan bahwa konseling lintas budaya adalah konseling yang diberikan kepada mereka yang sama budayanya dengan konselor, tetapi mereka memiliki peran yang berbeda, misal kaum homo seksual, penyandang cacat, para orang tua, wanita dan sebagainya.
            Definisi konseling yang lebih akhir menyatakan bimbingan konselig lintas budaya terjadi apabila suatuproses konseling terdapat perbedaan-perbedaan budaya antara konselor dengan klien.
            Asumsi dasar konseling lintas budaya adalah bahwa individu yang terlibat dalam konseling itu hidup dan dan di bentuk oleh lingkungan budaya, baik keluarga maupun masyarakat. Dalam hal ini Ivey dkk.(1995:5) mengemukakan � masalah �masalah individu dan keluarga seringkali bersumber dari faktor lingkungan atau luar, seperti kemiskinan, ras, jenis kelamin, dan sebagainya.
            Dengan uraian diatas dapat di kemukakan definisi konseling lintas budaya yaitu �suatu proses konseling yang melibatkan antara konselor san klien yang berbeda budayanya,dan dilakukan dengan memperhatikan budaya subyek yang terlibat dalam konseling�.




BAB III
ASAS,PRINSIP DAN HAMBATAN KONSELING LINTAS BUDAYA

Agar layanan konseling lintas budaya efektifitas dan efisien sehingga berfungsi secara optimal, maka layanan konseling lintsas budaya harus diselenggarakan berdasarkan suatu tumpuan berfikir yang disebut asas layanan dan berpedoman pada prinsip-prinsip lainya, yang merupakan kajian teori dan telah lapangan mengenai konseling lintas budaya , serta memahami berbagai hambatan-hambatan dalam layanan konseling lintas budaya.
A.    Asas-asas Konseling Lintas Budaya
Layanan konseling lintas budaya merupakan layanan profesional, maka harus dilaksanakan dengan mengikuti  kaidah-kaidah tersebut didasarkan atas tuntutan keilmuan layanan, kondisi masyarakat dengan beragam latar belakang budaya, dan tuntutan optimal proses penyelenggaraan lainya. Kaidah-kaidah tersebut disebut asas-asas layanan.
Terdapat sejumlah asas l;ayanan bimbingan dan konseling, yaitu:
1.      Asas kerahasiaan
2.      Asas kesukarelaan
3.      Asas keterbukaan
4.      Asas kegiatan
5.      Asas kemandirian
6.      Asas kekinian
7.      Asas keterpaduan
8.      Asas kedinamisan
9.      Asas kenormatifan
10.  Asas keahlian
11.  Asas alih tangan
B.     Prinsip-Prinsip Konseling Lintas Budaya
Sebgai gerakan keempat dalam konseling yang relatif masih baru, maka prinsip-prinsip konseling lintas budaya banyak yang bersifat hipotesis, berupa pemikiran, dan masih terus berkembang.
            Dragum (1996) mencatat sejumlah kesepakatan dari para prfaktisi,peneliti, dan ahli-ahli teori tentang prinsip-prinsip konseliing lintas budaya adalah :
1)      Teknik atau aktifitas para konselor semakin berubah,
2)      Permasalahan dalam proses konseling akan cenderung meningkat,
3)      Permasalahan atau problem,
4)      Norma, harapan prilaku setress memiliki keragaman antara kebudayaan.
5)      Konsep-konsep konseling dan pola-pola membantuperkaitan dengan suatu kebudayaan.



C.    Permasalahan Konseling  Lintas Budaya
Prayetno dan Erman Amati (1994) mengutip Pedersen dkk, yang mengetengahkan yang lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi non ferbal, stereotip, kecenderungan menilai, dan kecemasan. Presepei atau pandangan yang terpola (stereotipe) menyebabkan orang memandang orang lain menurut kemauanya diri sendiri atau berdasar asumsi-asumsi yang sudah tertanam pada dirinya. Kecenderungan menilai seringkali didasarkan pada setandar subyektif. Kecemasan sering muncul karena seseorang harus berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda budayanya.
Sue (1981:1) mencatat tiga hal yang menjadi sumber hambata atau kegagalan konseling lintas budaya, yaitu :
1.      Program pendidikan dan latihan konselor
2.      Literatur koneling dan kesehatan mental
3.      Proses dan praktek
Di samping aspek-aspek diatas,Sue (1981:28) juga mencatat tiga hambatan konseling linyas budaya, yaitu:
1.      Hambatan bahasa
2.      Hambatan kelas, setatus antara konselor dan klien
3.      Hambatan perbedaa nilai budaya antara konselor dengan klien
1.      Isu etic dan emic
Pendekatan etic melibatkan penelitian yang berasal dari budaya tertentu. Pendekatan emic mengacu pada pandangan bahwa data penelitian konseling lintas budaya harus dilihat dari sudut pandang budaya subyek yang diteliti,atau budaya asli dan uniks.
            Dikotimoi etic dan emic merupakan perbedaan cara mendeskripsikan suatu kebudayaan, dipandang dari dalam budaya klien atau dari luar budaya klien. Isu ini sering menjadi perdebatan karena pada akhirnya berkaitan dengan hubungan konselor-klien.
2.      Isu hubungan konseling-klien versus teknik-teknik konseling
Para ahli konseling cenderung memberikan pernyataan yang sifatnya umum sebagai berikut : konselor perlu penyiapan diri untuk mengadaptasi teknik-teknik konseling sesuai dengan latar budaya klien, menggunakan tehnik-tehnik acceptance dan attending sesuai dengan latar budaya klien, serta terbuka terhadap semua kemungkinanuntuk melakukan interfensi langsung terhadap kehidupan klien. Dengan demikian konseling lintas budaya lebih merupakan pengadaptasian tehnik-tehnik yang dipakai konselor sesuai dengan latar belakang budaya klien.
3.      Isu hubungan bilateral antara konselor-klien
Hubungan bilateral yang dimaksud adalah hubungan hubungak konselor denagn klien yang mengacu pada tingkat proses belajar dalam konseling yang mempengaruhi dengan konselor maupun klien.

4.      Isu dilema autoplastic-alloplastic
Konsep autoplastic mengacu pad bagaimana mengakomodasikan seseorang pada suatu latar dan setruktur sosial yang bersifat given( jadi). Konsep alloplastic mengacu pada pembentukan relatif eksternal yang sesuai dengan tujuan proses konseling, karena konsep-konsep tersebut berkaitan dengan pertanyaan seberapa jauh konselor dapat membantu klien  beradaptasi dengan realitas yang ada, dan seberapa jauh konselor dapat mendorong terbentuknay realita yang sama dengan realiatas yang ada pada diri konselor.
Beberapa sumber konflik dan salah interpretasi dalam konseling sering terjadi dalam konseling lintas budaya, mengingat konselor umumnya masih mengacu pada teori konseling yang bersumber dari Amerika-Eropa. Sumber konflik da salah iterpretasi tersebut antara lain :
1.      Adapun upaya menyatukan klien kebudaya klien ke budaya yang dominan yang dimiliki konselor.
2.      Berpusat pada individu. Padahal budaya merupakan identitas seseorang yang tidak dapat dipisahkan dari kelompoknya.
3.      Konselor menghindari agar klien mau mengekspresikan perasaan melalui bahasa dan tingkah laku, seperti assertifve, punya pendirian tidak pasif.
4.      Pengguna insight atau pencerahan dalam konseling didasarkan pada asumsi bahwa klien mencapai insight pada dirinya sendiri akan dapat menyesuaikan  diri dengan baik.
5.      Sebagian besar konseling menginginkan keterbukaan dan kekariban yaitu klien yang mau terbuka dan berbicara tentang aspek-asoek kehidupan dirinya.
6.      Pola komunikas dalam konseling umumnya menhendaki komunikasi yang bergerak dari klien ke konselor, atau klien lebih aktif.
7.      Hambatan bahasa. Di Ameriak umunya di guinakan Inggris bahasa yang baku. Oleh karena itu kelompok minoritas yang belum menguasai bahasa Inggris dengan baik, dalam dalam konseling akan mengalami hambatan.

BAB IV
DIMENSI BUDAYA DALAM KONSELING LINTAS BUDAYA

A.    Sistem Budaya dan Bimbingan Konseling
1.      Sistem kebudayaan
a.       Sistem kebudayaan atau nilai budaya
Berisi kompleksi ide-ide, gagasan, konsep dan pikiran manusia yang menjadi sumber inspirasi dan orientasi dalam menghadapi kehidupan. Orientasi atau pandangan ini mengkristal kuat sebagai jiwa dari masyarakat tertentu. Gagasan ini berkait satu sama lain menjadi suatub sistem yang berpola. Sistem budaya ini mengatur dan memberi arah kepada sekelompok masyarakat dalam menghadaipimasalah-masalah kehidupan.nilai budaya ini menyangkut pandangan tentang kebenaran, kebaikan , keindahan,kenyataan dan sebagainya. Dalam hal ini kluckohn( kuncaradiningrat,1990;Sulaiman) mengemukakan empat orientasi nilai budayayaitu :
1.      Hakikat hidup manusia.
2.      Hakikat waktu
3.      Hakikat karya
4.      Hakikat hubungan semua manusia
5.      Hakikat hubungan manusia dan alam

b.      Sistem sosial
Yaitu tidak berpola yang terdiri dari pola aktifitas�aktifitas manusia yang saling berinteraksi (berhubungan) serta bergaul satu sama lain dari waktu ke waktu, yang menetap dalam bentuk adat tata perilaku.
c.       Kebudayaan Fisisk
Merupakan hasil karya manusia yang bersifat fisik, konkrit, dapat berbentuk benda-benda yang dapat diraba.
2.      Dimensi-dimensi bimbingan dan konseling
Morril, Oetting,dan Hurs (dalam Ivey, Lyn Simek,1980) melihat BK dalam tiga dimensi yang di gambarkan dalam suatu kubus, yaitu :
a.      Target of intervention (individual,primary group,associational group,dan community group)
b.      Purpos of intervention (remidiation,perevention, dan develmedia)
c.       Method of intervention (direct service, consulation/training, media)
Tohari Musnamar (1986) mengetengahkan sepuluh komponen dalam sisitem BK, yaitu:
a.       Sistem konsep dasar
b.      Sistem pembimbingan
c.       Subyek-subyek yang dibimbing
d.      Subsistem metode dan tehnik
e.       Subsistem strategi
f.       Subsistemadministrasi dan organisasi
g.      Subsistem pelayanan
h.      Subsistem saran dan biaya
i.        Subsistem lingkungan
j.        Subsistem usaha pengembangan

B.     Dimensi Budaya dalam Konseling
Inti pelayanan bimbingan dan konseling adalah �komunikasi� antara konselor dan klien. Dalam komunikasi tersebut melibatkan seluruh kepribadian klien dan konselor, dimana kepribadian tersebut merupakan produk dari budayanya.
1.      Budaya akan memberikan warna dan arah bagi subsistem konsep dasar BK, yang mencakup landasan filosofik,tujuan konseling,prinsip dan asas BK,serta kode etik BK.
2.      Budaya memeberikan warna terhadap subsistem pembimbingan baik yang berkaitan dengan kualifikasi pendidikan dan latihan, penempatan bimbingan.
3.      Budaya akan memberikan warna bagi subsistem subyek yang dibimbing.
4.      Budaya juga menentukan dan mewarnai metode memahami individu-individu, dan metode/tehnik bimbingan konseling.
5.      Budaya akan memberikan arah bagi program-program BK.
6.      Budaya menentukan sistem administrasi dan organisasi BK.
7.      Budaya juga menentukan sistem sarana,prasaran dan biaya.
8.      Budaya menentukan sistem proses layanan.
9.      Budaya mewarnai subsistem lingkungan konseling.
10.  Budaya juga mempengaruhi dan mewarnai sistem pengembangan bimbingan dan konseling.
Landrine (1992)membedakan adanya reffential self and indexial self,
1.       Reffential self adfalah self atau diri yang sendiri,mandiri asli,kreatif dapat mengontrol perilaku, menentukan diri, pikira,self yang terbungkus dalam budaya barat.
2.      Indexial self yaitu self atau diri pribadi yang kurang mandiri, kurang dapat mengontrol diri, jiwanya lemah dan kering, kirang kreatif, mudah dipengaruhi.
Hofstede dari Belanda (dalam dragum 1996,Bery dkk,1999) mengidentifikasikan empat faktor dimensi pola pribadi atau pola hidup manusia, yaitu:
1.      Individualisme menunjukan kecondongan seseorang terhadap diri sendiri, yang memiliki kesungguhan, berusaha atau mampu mencapai tujuan, merealisasikan hidupnya sendiri.
2.      Power distance merupakan konsep yang menunjukan ketidaksamaan atau jurang pemisah ( suatu tatanan berjinjang) antara atasan dan bawahan dalam suatu organisasi, atau antara perasaan superior dan interior.
3.      Uncerainty avoidance atau penghindaran akan ketidakmenentuan merupakan konsep yang menunjukan tingkat kebutuhan seseorang akan setruktur,aturan, norma, petunjuk atau informasi untuk mengantisipasi kehidupan yang kompleks, yang sulit diprediksi.
4.      Masculinity dan feminity, menunjukan pola kepribadian atau kebudayaan yang membedakan peran antara laki-lak dan permpuan.

1.      Variabel konselor
Konselor juga membawa karakteristik kompetensi profesional sebagai konselor, seperti budaya profesi yang mencakup asumsi-asumsi, keyakinan, nilai sikap-sikap profesi, keterampilan-keterampilan profesi dan sebagainya.
2.      Variabel klien
Sebagaimana konselor klien juga membawa seperangkat karakteristik, baik persoanl-sosio-kultural dan pengalaman hidup. Beberapa aspek  personal-soso-kultural yaitu: aspek biologis (jender, ras, prefensi seksual)budaya (asumsi-asumsi, keyakinan, nilai sikap) gaya kongninitif ( proses penerimaan, informasi berfikir,stereotype),bakat, kecakapan, minat, harapan, perilaku.

3.      Veriabel proses konseling
Dalam proses konseling terlibat dua fihak yaitu klien dan konselor, yang saling beriteraksi untuk mencapai suatu tujuan.

BAB V
KONSELOR DALAM KONSELING LINTAS BUDAYA

A.    Pendahuluan
Ketidak efektifan konseling lintas budaya dapat disebabkan oleh faktor konselor , yaitu konselor yang tidak memperoleh pendidikan/latihan dan pengalaman tentang konseling lintas budaya (Ivey,1981) konseling yang terkukung dalam budayanya sendiri (cultural encapsulation) dan yakin tidak memiliki kesadaran/kepekaan budaya.
B.     Karakteristik Umum
Karakteristik konselor dalam konseling lintas budaya secara umum sama dengan konselor pada umumnya, yang harus memiliki kompetensi profesional dan profesional.

1.      Kerdibilitas konselor
Kerdibility mencakup arah set problem solving, consistency dan identifikation, yang diartikan sebagai seperangkat karakteristik yang menjadi individual yang layak untuk dipercaya, mampu, reliabel dan dihormati. Oleh karena itu dalam kerdibilitasi terkandung dua hal yaitu persepasi dan sifat-sifat komunikator.
Dalam kerdibilitasi  terkandung dua unsur penting yaitu keahlian (expertnss) dan sifat yang dapat dipercaya (trutstworthiness).
2.      Daya tari konselor (attractiveness)
Atraksi merupakan kesukaan atau sikap positif dan dan daya tarik seseorang.
a.       Faktor personal yang mempengaruhi daya tarik konselor
1)      Kesamaan karakteristik personal
2)      Tekanan emosi
3)      Hargadiri yang rendah
4)      Isolasi sosial


b.      Faktor situalisonal
Banyak faktor situasional yang mempengaruhi atrasiseperty:
a)      Daya tarik fisik
b)      Ganjaran yaitu cenderung menyenangi terhadap orang yang memberikan ganjaran, pujian,bantuan, dukungan atau hal-hal yang menyenangkan.
c)      Familiarity, yaitu orang yang cenderung menyenangi terhadap orang yang sudah dikenal.
d)     Kedekatan (proximinity)
e)      Kemampuan (competence)

3.      Kekuasaan (power)
Kekuasaan adalah kemampuan menimbulkan ketundukan ( compliance). Ketundukan tersebut timbul karena adanya interaksi antara konselor dan klien.
Kekuasaan tersebut dapat bersumber dari :
a.       Kekuasaan koersif yaitu kekuasaan komunikator mendatangkan atau memberikan ganjaran atau hukuman.
b.      Kekuasaan keahlian
c.       Kekuasaan informasional
d.      Kekuasaan rujukan
e.       Kekuasaan legal
C.    Karakteristik konselor secara khusus
Bagi konselor yang memberikan layanan konseling lintas budaya, kualifikasi tersebut terkait dengan beragamnya budaya klienyang dilayani,sehingga kualifikasi konselor sangat luas dan mungkin bebeda antara satu klien dengan klien lain.
1.      Kualitas personal/pribadi konselor
Association For Counseling Education and supervision tahun 1964 yang di kutip dasar kepribadian seorang konselor yaitu :
a.       Percaya pada setiap orang
b.      Menghayati nilai-nilai kemanusiaan setiap individua
c.       Peka terhadap dunia sekelilingnya
d.      Sikap keterbukaan
e.       Memahami diri sendiri
f.       Menghayati profesionalitas

2.      Kompetensi profesional konselor lintas budaya
Konselor yang memberikan pelayanan konseling lintas budaya, harus memiliki kopetensi profesional.
a.       Tujuan agar konselor sadar akan nilai-nilai budaya dan keyakinan
1)      Sikap-sikap dan keyakinan;
a)      Peka terhadap budaya yang di bawa dan sadar akan pengaruh terhadap pemikiran, perasaan dan perilakunya.
b)      Mengenal berbagai keterbatasan tentang kecakapan,kemampuan yang dimiliki dengan dirinya.
c)      Menyukai orang yang berbeda ras, etnis budaya dan keyakinan dengan dirinya.
2)      Memiliki pengetahuan yang mencakup
a)      Menyadari betapa besar pengaruh latar belakang konsep ukuran/kriteria�normalitas� setiap budaya dalam proses konseling.
b)      Memahami konsep-konsep tentang rasisme, didskriminasi, stereotype.
c)      Memahami bagaimana gaya yang dimiliki setiap klien dari berbagai latar belakang budaya.
3)      Setrategi intervensi
a)      Mencari pengalaman melalui pendidikan/ latihan untuk pendidikan lanjutan, mencari konsultasi dan refferal ketika di perlukan.
b)      Berusaha untuk dapat memahami diri sendiri sebagai ras/budaya dan secara aktif berusaha membangun masyarakat non rasial.
b.      Tujuan konselor menyadari akan pandangan hidup klien
1)      Sikap-sikap dan keyakinan
Menyadari akan reaksi emosional dan stereotype yang negatif dalam hubungan dengan kelompok lain.
2)      Pengetahuan
a)      Memiliki pengetahuan yang khusus tentang pandngan hidup
b)      Memahami betapa masalah-masalah budaya terkait dengan gaya personal seseorang
c)      Familier dengan pengaruh sosial politik
3)      Strategi intervensi
a)      Mengusai akan hasil riset dan temuan teori mutakhir tentang budaya kelompok yang berbeda dengan budaya sendiri.
b)      Mencari pengalaman pendidikan yang relevan
c)      Secara aktif terlibat dalam kgiatan kelompok minoritas, bersahabat, aktif secara sosial politik, berlatih membantu kelopok minoritas.
c.       Tujuan menguasai strategi yang tepat secara budaya
1)      Sikap-sikap dan keyakinan
a)      Respek terhadap agama
b)      Respek terhadap praktek bantuan pada penduduk asli, dengan jaringan kerja bantuan pada kelompok minoritas.
c)      Memandang mereka yang berbahasa lainb sabagai aset, bukan hambatan.
2)      Pengetahuan
a)      Memahami tradisi konseling masyarakat Eropa yang mengkin berbeda dengan nilai budaya  tradisi lain.
b)      Menyadari hambatan kelembagaan dan biasa dalam instrumensi/pengukuran dan tehnik  konseling.
c)      Menyadari pengaruh keluarga dan masyarakat dalamproses konselig.
d)     Memahami masalah-masalah rasisme,  penindasan dan sebagainya.
3)      Strategi intervensi
a)      Dapat menyampaikan pesan verbal dan non verbal akurat dan tepat.
b)      Dapat menentukan apakah problem klien sebagai hasil dari faktor luar, seperti rasisme dan bias-bias lainya.
c)      Menggunakan lembaga antuan untuk membantu klien.
d)     Dapat bekerja dengan pihak pembantu tradisional (dukun dll) dan para tokoh sepiritual.
e)      Merujuk pada sumber/ konselor yang lebih tepat jika konselor tidak bisa memahami bahasa klien dengan baik.
f)       Mengadakan pelatihan/pendidikan untuk memberantas penindasan.
g)      Mendidik klien untuk mengembangkan pribadi klien dan pendidik norma hukum yang berlaku.
3.      Ketrampilan khusus konselor
Beberapa jenis ketrampilan yang harus dimiliki konselor dalam konseling lintas budaya dan selalu diaktifkan dengan konteks budaya antara lain:
a.       Ketrampilan menyiapkan tata formasi atau menyiapkan konteks seperti menyiapkan tempat konseling,suasana ruangan,dekorasi dan sebagainya.
b.      Keterampilan memperhatikan (attending skills)
c.       Ketrampilan mengeksplorasikan masalah.
d.      Keterampilan dalam menngembangkan inisiatif ( merumuskan tujuan,mengembangkan program).
e.       Ketrampilan dalam mempengaruhi atau pemilihan strategi, seperti : ketrampilan menginterpretasi, ketrampilan memilih setrategi bantuan yang tepat, ketrampilan memberi pengaruh, ketrampilan memberkan dukungan (reassurance), ketrampilan memberikan advisi atau informasi, ketrampilan memberikan umpan balik, ketrampilan logical consequences, ketrampilan influencing summary dan sebagainya.

Berbagai keterampilan tersebut akan dikomunikasikan secara berbeda pada klien yang berbeda budayanya.


Makalah Konseling Lintas Budaya

KONSELING LINTAS BUDAYA (KLB)

KONSELING LINTAS BUDAYA
 A. Pedahuluan

       Beneka tuggal Ika itu yang terucap dari seluruh Rakyat Indonesia karena keragaman Sosial, Budaya, Politik, dan kemamapuan Ekonomi adalah suatu realita masarakat dan bagsa indonesia. Keragaman tersebut berpengaruh langsung terhadap kemampuan pelayanan konseling.

       Konseling adalah suatu proses pemberian bantuan yang terjadi dalam hubungan antara konselor dan klien. Dengan tujuan mengatasi masalah klien dengan cara membelajarkan dan memberdayakan klien. Untuk memperoleh pemahaman dan pencapain tujuan dalam konseling, faktor utama yang mempengaruhi yaitu bahasa merupakan alat yang sangat penting. Bila terjadi kesulitan dalam mengkomunikasikan apa yang diinginkan dan dirasakan oleh klien, dan kesulitan menangkap makna ungkapan pikiran dan perasaan klien oleh konselor, maka akan terjadi hambatan dalam proses konseling.

      Penerapan konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar kelompok klien yang satu dengan kelompok klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling. Budaya yang dianut sangat mungkin menimbulkan masalah dalam interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Masalah bisa muncul akibat interaksi individu dengan lingkungannya. Sangat mungkin masalah terjadi dalam kaitannya dengan unsur-unsur kebudayaan, yaitu budaya yang dianut oleh individu, budaya yang ada di lingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar individu. 

     Proses konseling memperhatikan, menghargai, dan menghormati unsur-unsur kebudayaan tersebut. Pengentasan masalah individu sangat mungkin dikaitkan dengan budaya yang mempengaruhi individu. Pelayanan konseling menyadarkan klien yang terlibat dengan budaya tertentu; menyadarkan bahwa permasalahan yang timbul, dialami bersangkut paut dengan unsur budaya tertentu, dan pada akhirnya pengentasan masalah individu tersebut perlu dikaitkan dengan unsur budaya yang bersangkutan.

      Program studi bimbingan dan konseling bertujuan untuk menghasilkan tenaga pendidik yang mampu melaksanakan pelayanan konseling bagi siswa di sekolah dan warga masyarakat luas. Konselor harus menguasai Standar Kompetensi untuk memberikan pelayanan profesi konseling kepada para individu, baik perorangan maupun kelompok, dalam setting sekolah maupun luar sekolah, sesuai dengan permasalahan dan tuntutan perkembangan mereka, menurut prinsip-prinsip keilmuan, teknologi dan pelayanan konseling profesional.

B. PENGERTIAN KONSELING LINTAS BUDAYA

          Istilah budaya berasal dari kata �budaya�yanag berarti �pikiran, akal, budi,adat itiadat, sesuyi yang sudah menjadi kebiasaan, sehingga sukar untuk diubah�. Kebudayaan itu sendiri berarti �hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kesenian, kepercayaan dan adat istiadat� ( kamus besar bahasa Indonesia, 1998:149). Menurut Koetjaraningrat (1997: 94) menjelaskan budaya dapt dimaknai sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia yang diperoleh dari hasil belajar dalam kehidupa masyarakat, yang dijadikan milik manusia itu sendiri. Berkaitan dengan hal itu, tingkah laku individu sebgai anggota masyarakat terkaib dengan budaya yang diwujudkan dalam berbagai pranata. Pranata tersebut berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkahlaku manusia untuk memenuhi kebutuhanya.

      Manusia tidak dapat terlepas dari budaya, keduanya saling memberikan pengaruh. Pengaruh budaya terhadap kepribadian individu akan terlihat pada perilaku yang ditampilkan. Bagaimana hubungan manusia dengan kebudayaan sebenarnya banyak dikaji dan dianalisis oleh ilmu antropologi. Sedangkan bagaimana individu berperilaku akan banyak disoroti dari sudut tinjauan psikologi. Manusia adalah miniatur kebudayaannya. Oleh karena itu, tingkah laku manusia perlu dijelaskan bukan hanya dari sudut pandang individu itu sendiri, melainkan juga dari sudut pandang budayanya, outside dan within him (Kneller, 1978). Manusia adalah produk dan sekaligus pencipta aktif suatu kelompok sosial, organisasi, budaya dan masyarakat. Sebagai produk, manusia memiliki ciri-ciri dan tingkah laku yang dipelajari dari konteks sosialnya. Sebaliknya sebagai pencipta yang aktif manusia juga memberikan kontribusinya kepada perkembangan budayanya (Ritzer, Kammeyer, dan Yetman, 1979).

         Pelayanan konseling hakikatnya merupakan proses pemberian bantuan dengan penerapkan prinsip-prinsip psikologi. Secara praktis dalam kegiatan konseling akan terjadi hubungan antara satu dengan individu lainnya (konselor dengan klien). Dalam hal ini individu tersebut berasal dari lingkungan yang berbeda dan memiliki budayanya masing-masing. Oleh karena itu dalam proses konseling tidak dapat dihindari adanya keterkaitan unsur-unsur budaya.

        Keragaman budaya dapat menimbulkan konsekuensi munculnya etnosetrisme dan kesulitan komunikasi. Etnosetrisme mengacu pada adanya perasaan superior pada diri individu karena kebudayaan atau cara hidupnya yang dianutnya dianggap lebih baik. Sedangkan bahasa adalah simbol verbal dan nonverbal yang memungkinkan manusia untuk mengkomunikasikan apa yang dirasakannya dan dipikirkannya. Apabila terjadi perbedaan dalam menginterpretasikan simbol-simbol verbal dan nonverbal diantara dua orang atau lebih yang sedang berkomunikasi, maka akan timbul persoalan.

       Lebih jelas Clemon E. Vontres mengemukakan bahwa jika konselor dan klien merasakan persamaan budaya meskipun sebenarnya secara budaya mereka berbeda maka interaksi tersebut tidak boleh dinamakan konseling lintas budaya. Sebaliknya jika konselor dan klien secara budaya sama tetapi masing-masing mereka merasa berbeda budaya maka interaksinya dapat dinamakan lintas budaya. Jadi dalam konseling lintas budaya, yang menjadi standar adalah interaksi yang terjadi dalam hubungan konseling dan bagaimana interaksi dirasakan serta dihayati oleh konselor dan klien. Jika dalam interaksi itu dirasakan adanya perbedaan-perbedaan secara budaya maka interaksi tersebut dinamakan konseling lintas budaya. Dengan demikian dalam konseling lintas budaya perbedaan antara konselor dan klien bukan hanya terletak pada adanya perbedaan bangsa saja, tetapi juga mencakup perbedaan aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas.

C. Unsur-unsur Pokok dalam Konseling Lintas Budaya

       Dalam pengkajian isu tentang budaya, Locke dalam Brown (1988) mengemukakan tiga unsur pokok dalam konseling lintas budaya, yaitu :
  1. Individu adalah penting dan khas
  2. Konselor membawa nilai-nilai yang berasal dari lingkungan budayanya
  3. Klien yang datang menemui konselor juga membawa seperangkat nilai dan sikap yang mencerminkan budayanya.

      Selanjutnya Brown menyatakan bahwa keberhasilan bantuan konseling sangat dipengaruhi oleh factor-faktor bahasa, nilai, stereotype, kelas sosial, suku, dan juga jenis kelamin. Menurut Sue, faktor-faktor budaya yang berpengaruh dalam dalam konseling adalah pandangan mengenai sifat hakikat manusia, orientasi waktu, hubungan dengan alam, dan orientasi tindakan. Sehubungan dengan hal tersebut, Clemon E. Vontres dalam dialognya dengan Morris Jacson mengemukakan bahwa budaya terdiri dari lima lingkaran sosialisasi yang melingkupi dan mempengaruhi sikap, nilai-nilai dan buhasa. Lima lingkup yang dimaksud meliputi: interaksi universal (dunia), ekologi nasional (negara), regional, ras, dan etnis. Unsur-unsur tersebut mempengaruhi manusia sebagai individu dalam berbagai bentuk kondisi.

      Dari paparan di atas dapat dianalisis bahwa unsur-unsur pokok yang perlu diperhatikan dalam konseling lintas budaya adalah sebagai berikut:
  • Klien sebagai individu yang unik, yang memiliki unsur-unsur budaya tertentu yang berpengaruh pada sikap, bahasa, nilai-nilai, pandangan hidup, dan sebagainya.
  • Konselor sebagai individu yang unik juga tidak terlepas dari pengaruh unsure-unsur budaya seperti halnya klien yang dilayani.
  • Dalam hubungan konseling konselor harus menyadari unsur-unsur tersebut dan menyadari bahwa unsur-unsur budaya itu akan mempengaruhi keberhasilan proses konseling.

D. Keterampilan dan Sikap Konselor Lintas Budaya

1. Keterampilan dan Pengetahuan Konselor

         Khusus dalam menghadapi klien yang berbeda budaya, konselor harus memahami masalah sistem nilai. M. Holaday, M.M. Leach dan Davidson (1994) mengemukakan bahwa konselor professional hendaknya selalu meingkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan konseling lintas budaya, yang meliputi hal-hal sebagai berikut.
  • Pengetahuan dan informasi yang spesifik tentang kelompok yang dihadapi
  • Pemahaman mengenai cara kerja sistem sosio-politik di negara tempat kelompok berada, berkaitan dengan perlakukan terhadap kelompok tersebut.
  • Pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit tentang karakteristik umum konseling dan terapi.
  • Memiliki keterampilan verbal maupun non-verbal
  • Mampu menyampaikan pesan secara verbal maupun non-verbal
  • Memiliki keterampilan dalam memberikan intervensi demi kepentingan klien
  • Menyadari batas-batas kemampuan dalam memberikan bantuan dan dapat mengantisipasi pengaruhnya pada klien yang berbeda.

2. Sikap Konselor

       Para konselor lintas budaya yang tahu tentang kesamaan humanity harus dapat mengidentifikasi physical sensation dan psychological states yang dialami oleh klien. Konselor lintas budaya hendaknya dapat melakukan tugasnya secara efektif, maka untuk itu konselor perlu memahami bagaimana dirirnya sendiri menyadari world view-nya dan dapat world view klien. Sikap konselor dalam melaksanakan hubungan konseling akan menimbulkan perasaan-perasaan tertentu pada diri klien, dan akan menentukan kualitas dan keefektifan proses konseling. Oleh karena itu, konselor harus menghormati sikap klien, termasuk nilai-nilai agama, kepercayaan, dan sebagainya. Sue, dkk (1992) mengemukakan bahwa konselor dituntut untuk mengembangkan tiga dimensi kemampuan, yaitu:
  • Dimensi keyakinan dan sikap
  • Dimensi pengetahuan
  • Dimensi keterampilan sesuai dengan nilai-nilai yang dimilki individu

          Sementara itu, Rao (1992) mengemukakan bahwa jika klien memiliki sifat atau kepercayaan yang salah atau tidak dapat diterima oleh masyarakat dan konselor akan hal tersebut, maka konselor boleh memodifikasi kepercayaan tersebut secara halus, tetapi apabila kepercayaan klien berkaitan dengan dasar filosofi dari kehidupan atau kebudayaan dari suatu masyarakat atau agama klien, maka konselor harus bersikap netral, yaitu tidak mempengaruhi kepercayaan klien tetapi membantunya untuk memahami nilai-nilai pribadinya dan nilai-nilai kebudayaan tersebut.

          Selanjutnya, Rao juga mengemukakan bahwa aspek-aspek yang mendasari sikap tersebut adalah sebagai berikut.
a. Keyakinan
       Konselor harus yakin bahwa klien membicarakan martabat persamaan (hak) dan kepribadiannya. Konselor percaya atas kata dan nilai-nilai klien. Di samping itu juga yakin bahwa klien membutuhkan kebebasan dan memiliki kekuatan serta kemampuan untuk mencapai tujuan.

b. Nilai-nilai
           Konselor harus bersikap netral terhadap nilai-nilai terhadap nilai-nilainya. Konselor tidak menggunakan standar moral dan sosial berdasarkan nilai-nilainya. Dalam hal ini konselor harus memiliki keyakinan penuh akan nilai-nilainya dan tidak mencampurkan nilai-nilainya dengan nilai-nilai klien.

c. Penerimaan
       Penerimaan konselor menunjukkan pada klien bahwa dihargai sebagai peribadi dengan suasana yang menyenangkan. Penerimaan tersebut bersifat wajar tanpa dibuat-buat.

d. Pemahaman
     Konselor memahami klien secara jelas. Dalam hal ini ada empat tingkatan pemahaman, yaitu(1) pengetahuan tentang tingkah laku, kepribadian, dan minat-minat individu, (2) memahami kemampuan intelektual dan kemampuan verbal individu, (3) pengetahuan mengenai dunia internal individu, dan (4) pemahaman diri yang meliputi keseluruhan tingkatan tersebut.

e. Rapport
       Konselor menciptakan dan mengembangkan hubungan konseling yang hangat dan permisif, agar terjadi komunikasi konseling yang intensif dan efektif.

f. Empaty
       Kemampuan konselor untuk turut merasakan dan menggambarkan pikiran dan perasaan klien.

3. Persyaratan Konselor Lintas Budaya
     Isu konselor dalam penyelenggaraan konseling lintas budaya adalah bagaimana konselor dapat memberikan pelayanan konseling yang efektif dengan klien yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Dalam hubungan dengan isu ini, Lorion dan Parron (1985) mengemukakan persyarakat konselor lintas budaya sebagai berikut:
  • Konselor harus terlatih secara khusus dalam perspektif multi budaya, baik akademik maupun pengalaman.
  • Penciptaan situasi konseling harus atas persetujuan bersama antara klien dan konselor, terutama yang berkaitan dengan dengan kemampuan mereka dalam mengembangkan hubungan kerja teurapetik.
  • Konselor harus fleksibel dalam menerapkan teori terhadap situasi-situasi khusus klien.
  • Konselor harus terbuka untuk dapat ditantang dan diuji.
  • Dalam situasi konseling multi budaya yang lebih penting adalah agar konselor menyadari sistem nilai mereka, potensi, stereotipe, dan prasangka-prasangkanya.
  • Konselor menyadari reaksi-reaksi mereka terhadap perilaku-perilaku umum.


Aspek-aspek yang harus di kaji melalui diskusi kelompok
  1. Aspek-aspek Budaya

  • Bahasa
  • Agama
  • Kekerabatan
  • Adat Perkawinan
  • Sosial Ekonomi
  • Tata Pergaulan
  • Tradisi Khusus

     2.  Permasalahan yang dialami
  • Permasalahan inter etnis
  • Permasalahan antar etnis
  • Permasalahan umum,



DAFTAR PUSTAKA


Aderson J. Donna dan Ann Craston-Gingras. 1991. �Sensitizing Counselors and Educators to Multicultural Issues : An Interactive Approach�. Journal of Counseling and Development. 1991. V. 70

Bernard, Hatorld W. & Fullmer, D.W. 1987. Principle of Guidance. Secon Edition. New York : Harper and Row Publisher.

Brammer, Lawrence M. & Shostrom, E.L. 1982. Thepetic Psychology : Foundamentals of Counseling and Psychoterapy. New Jersey : Prentice-Hall.

Brown Duance J. Srebalus David. 1988. An Introduction to the Counseling Profession. USA : by Allyn & Bacon

Corey, Gerald. 2004. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Monterey, California : Brooks/Cole Publishing Company.

Jumarlin. 2002. Dasar � Dasar Konseling Lintas Budaya. Yokyakarta : Pustaka Pelajar

Kneller, G.F. 1978. Educational Anthropology. NewYork: Robert. F. Krieger

May Rollo.2003. The Art of Counseling. New Jersey : Prentice Hall, Inc

Pedersen Paul. Walter J. Lonner and Juris G. Draguns. 1980. Counseling Acroos Culture. USA : by The University Press of Hawaii

Prayitno. 2005. Konseling Pancawaskita. Padang : FIP Universitas Negeri Padang

Ritzer, G. :Kramer, K. W. C.:dan Yetman, N.R. 1979. Sociology:Experiencing A Changing Society. Boston: Allyn and Bacon